#CERPEN4 Sebuah Pilihan (2011)
Sepenggal kisah dalam hidupku,
ketika diriku terjebak dalam eloknya perjalanan hidup yang bersifat pemilih.
Ini ceritanya..
Gersangnya
siang tak kuasa membuat sebuah gedung sekolah yang tepat berada di Ibukota
Negara Indonesia sepi. Alunan hijau nan gugurnya musim semi terasa saat daun
kering bertebaran dimana pun. Gedung yang berada di Jalan W.R Supratman itu
tetap terasa rindang walau musim kian berganti. Itulah sekolahku, SMA
Renandyata.
Perkenalkan
namaku Revannia Nadifa Fitriani, panggil saja Rere. Kini aku duduk di bangku
sekolah menengah atas Renandyata, Jakarta Selatan. Hobiku adalah menulis, dan
sepertinya tak penting untuk kalian ketahui namun penting untukku ketahui
karena aku baru mengetahui sejak terperosok dalam dunia yang tak tentu arah,
berlari ke Timur maupun Barat, mengejar harapan indah dan ternyata hobiku
adalah menulis.
Singkat
cerita, kini aku tinggal bersama kedua orangtua dan adikku di sebuah apartemen
yang tepat berada di depan gedung sekolahku. Dan kemana pun aku pergi mereka
selalu ada didekatku, baik ketika gundah sedih maupun senang. Satu hal lagi
yang belum ku ceritakan, aku memiliki sahabat yang luar biasa bagi hidupku.
Sahabat yang selalu membuatku tenang ketika permasalahan datang menghampirriku
dan sahabat yang selalu percaya bahwa kehidupan tak pernah sesempit yang ia
bayangkan. Dia bernama Alia.
Bagiku
sekolah merupakan tempat dimana aku dapat menuntut ilmu, tempat dimana aku
memiliki banyak teman dan tempat dimana aku dapat beradaptasi dengan lingkungan
yang ada. Lingkungan sekitarku tak membuatku salah tangkap dalam mengambil
suatu keputusan. Namun ternyata, kejanggalan kini kian terungkap ketika
sahabatku tertarik dengan sesosok pria yang sesungguhnya aku cintai.
Ceritanya
dimulai ketika aku dan sahabatku memasuki dunia SMA. Dunia dimana kehidupan
akan lebih terasa dan tercipta kehangatannya. Masa Orientasi Siswa atau lebih
dikenal dengan sebutan MOS adalah masa pertama memasuki dunia SMA. Disitulah
tepatnya ketika aku menemukan alasan bahwa sampai saat ini aku semangat datang
ke sekolah. Alasan konyol yang pernah ku buat sangat lekat dalam jiwaku, bahkan
semakin hari aku semakin terus bertanya apa ini yang disebut cinta?
Seperti
yang kurasa, tak ada cerita yang akan kuceritakan baik pada Alia maupun pada
tinta yang kutulis selain tentangnya. Aku tak pernah bertanya pada Alia, namun
sering ku bertanya dalam hatiku apa benar semua ini nyata ataukah hanya
imajinasiku?
“Imajinasi
yang berlebihan”seruku sejenak.
“Apa
re?” jawab Alia seraya tak mendengar jelas ucapanku. Degup jantungku semakin
tak mengerti seberapa byte kecepatan yang terjadi saat ini. Cepat dan semakin
cepat ketika Alia terus bertanya apa yang ku bicarakan tadi.
“Ah,
tidak. Lamunanmu saja!” celahku meyakinkan Alia bahwa tak ada apapun yang
kusebut sedari tadi.
Raja.
Itulah nama yang sedari tadi kuceritakan. Dia kakak kelasku. Aku pun
sesungguhnya tak pernah mengerti mengenai faktor apakah yang membuatku jatuh
cinta padanya. Meyakini Alia ternyata cukup mudah, dengan beberapa alasan pun
dia percaya padaku. Namun kebohongan ini rasanya tak kuat aku simpan. Aku ingin
membuangnya agar semua orang mengetahui dan mengerti apa yang aku rasakan.
Dinginnya
sikap Raja padaku membuatku semakin tak mengerti. Mengapa hanya padaku dia
bersikap seperti itu? Apakah ini hanya alasanku saja untuk menyalahkannya bahwa
imajinasiku yang berlebihan?
Sepuluh
bulan berlalu, hingga Ujian Nasional akan tiba untuk Raja. Dan selama sepuluh
bulan inilah sedikit katapun tak pernah kumenceritakan Raja pada sahabatku,
Alia. Entah beribu alasan yang membuatku bungkam, namun sebenarnya hatiku masih
memilihnya.
Akhirnya
degup jantungku merasa damai ketika ku mendengar Alia menyukai seorang pria dan
pria itu pun menyukai Alia. Seiring jalannya hari, ternyata mereka semakin
dekat namun Alia tak pernah mau memberitahuku siapa sesosok pria itu. Alia
terus bercerita padaku mengenainya, sikapnya, kebaikan hatinya, dan tulus
cintanya. Aku merasa senang mendengarnya.
Namun
suatu hari, tepat dihari ulangtahunku dia memberitahuku dan membawa sesosok
pria yang menjadi teman dekatnya pun langsung menemuiku. Saat itu pula,
jantungku serasa terhenti sejenak. Aku seperti patung yang hanya memandangi dua
sejoli yang sedang dimabuk asmara. Ketika itu gelas yang tepat berada dalam
lengkupan jemari-jemariku terlepas dari genggamanku.
“Rere....
Bangun!!!”
Sekejap
ku melihat orang-orang sedang berlari ke arahku. Hingga ku melihat bayangan
hitam mengecam seluruh permukaan penglihatanku.
Kini
umurku menginjak tujuh belas tahun, namun tepat dihari ulangtahunku aku bungkam
dengan semua kenyataan hidup. Aku tak mau melihat semua kenyataan yang terjadi.
Aku mencintai dia, namun tak sedikitpun dia mencintaiku. Lalu yang ku dapat hanyalah
seuntai senyuman kedua sejoli yang tak melihat betapa hatiku teriris sakit
melihatnya.
Setelah
sadar, kini sepatah kata pun tak ku ucapkan pada Alia maupun Raja. Aku benci
mereka dengan semua yang mereka lakukan. Yang ku harapkan saat ini bukan kehancuran
hubungan yang ada, namun kenyataan bahwa diriku mencintai Raja itu hilang.
Sehari,
satu minggu, bahkan satu bulan berlalu dan hari perpisahan pun tiba. Berita
yang kudengar hanya Raja telah lulus dan akan tetap melanjutkan sekolahnya di
Jakarta. Meski hatiku perih, namun apa daya aku senang mendengarnya. Senang
mendengar kenyataan bahwa Raja tak akan pergi jauh meninggalkanku. Kenyataan
tetap tak menoleh, Alia menyadari semua kesalahannya. Pemintaan maaf yang terus
dia sampaikan membuatku kasihan padanya.
Kini
aku pun memaafkan mereka, entah apa yang ada dalam benakku. Aku tak pernah
mengerti. Namun sayang semua kenyataan memang sebuah pilihan, antara pilihan
bahwa aku tetap mencintai Raja menunggu Raja menantinya ataukah melupakan Raja
meninggalkan Raja dan pergi jauh dari angan-angan tertinggal. Alia memberiku
jawaban pasti bahwa ku harus mencintainya.
Ternyata
semua adalah kesalahan paham yang seharusnya tak dilakukan oleh Raja. Dia
mencintaiku, namun dia mendekati sahabatku (Alia). Dia takut menghampiriku,
namun dia dapat berkata jujur pada Alia bahwa sesungguhnya Raja mencintaiku
dengan segala kekuranganku.
Dan
sesungguhnya kehidupan adalah perjalanan hidup yang harus dipilih dan memilih.
Antara Ya atau Tidak.
0 Comments